
Di era digital saat ini, banyak anak muda tampil di berbagai platform media sosial—dengan gaya hidup, kelucuan, kesedihan, hingga masalah pribadi dijadikan konsumsi publik. Sayangnya, tidak sedikit dari mereka yang dijadikan “komoditas” oleh sistem atau bahkan orang terdekatnya demi klik, views, dan cuan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah anak muda benar-benar merdeka di internet, atau justru sedang “dijual” dalam bentuk konten?
1. Konten Personal yang Dipaksa Publik
Anak-anak dan remaja kini tumbuh dalam dunia di mana kamera menyala hampir sepanjang waktu. Beberapa dari mereka bahkan tidak punya pilihan—dokumentasi hidupnya sudah jadi “properti digital” sejak bayi. Privasi jadi barang langka. Lucu-lucuan, momen tantrum, atau bahkan trauma diposting demi engagement.
2. Eksploitasi dalam Balutan Hiburan
Banyak influencer muda yang “dilatih” sejak kecil untuk menjadi bintang konten. Mereka diajari memancing perhatian, memoles citra, bahkan mengundang drama agar tetap relevan. Meskipun tampak glamor, tekanan mental, burnout, dan kehilangan arah identitas seringkali jadi harga yang harus dibayar.
3. Ketika Platform Menjadi Etalase
Media sosial saat ini bekerja seperti pasar terbuka: siapa yang paling menarik akan ditonton, dibagikan, dan dijadikan tren. Di tengah algoritma yang menilai nilai manusia dari statistik, anak muda kerap merasa harus “menjual” dirinya agar dianggap berarti.
4. Tanggung Jawab Orang Dewasa & Platform
Tanggung jawab tidak hanya ada di pundak anak muda. Orang tua, guru, brand, dan pembuat platform harus introspeksi: apakah kita memfasilitasi pertumbuhan yang sehat, atau ikut menjadikan mereka “produk digital”? Di mana batas antara ekspresi dan eksploitasi?
5. Menuju Ruang Digital yang Etis
Anak muda berhak atas ruang digital yang aman, sehat, dan manusiawi. Edukasi literasi digital, batasan privasi, dan perlindungan hukum menjadi hal penting yang harus diperjuangkan. Mereka bukan konten. Mereka manusia.