Kafe Literasi: Budaya Eksklusif Kelas Menengah
Beberapa tahun terakhir, kafe literasi tumbuh bak jamur di kota besar. Dengan desain interior minimalis, rak buku artistik, dan aroma kopi mahal, tempat ini sering dipromosikan sebagai ruang budaya baru.
Namun, di balik citra intelektualnya, kafe literasi kerap menyisakan kesan eksklusif. Harga secangkir kopi bisa setara dengan uang makan satu keluarga sederhana. Pengunjungnya biasanya mahasiswa berprivilege, komunitas kelas menengah, hingga pekerja kreatif yang mencari “ruang nyaman” untuk berdiskusi.
Kafe literasi akhirnya lebih sering jadi simbol gaya hidup daripada pusat literasi itu sendiri.
Warung Pinggir Jalan: Ruang Sosial Rakyat
Di sisi lain, warung pinggir jalan tetap bertahan sebagai denyut kehidupan sehari-hari. Meja kayu sederhana, obrolan santai, hingga aroma kopi tubruk dan gorengan menjadi penopang interaksi sosial yang sesungguhnya.
Warung bukan sekadar tempat makan, tapi juga:
- Ruang demokrasi rakyat – semua bisa bicara tanpa pretensi.
- Sarana solidaritas – utang kecil bisa dicatat di buku, dan saling membantu jadi budaya.
- Pusat informasi lokal – kabar kampung lebih cepat beredar di warung daripada media sosial.
Warung pinggir jalan hadir tanpa formalitas, terbuka untuk siapa saja tanpa memandang dompet.
Duel Gaya Hidup: Antara Simbol dan Realitas
Kafe literasi dan warung pinggir jalan menunjukkan dua wajah budaya kota.
- Kafe literasi menampilkan citra intelektual modern, tapi sering kali terbatas pada mereka yang mampu membayar eksklusivitas.
- Warung pinggir jalan menegaskan realitas rakyat yang hidup dalam solidaritas sederhana, jauh dari glamor tetapi penuh kedekatan sosial.
Duel ini sebenarnya bukan hanya soal tempat, melainkan pertarungan makna budaya:
Apakah literasi harus dibungkus dengan kemewahan, atau justru hidup dalam keseharian rakyat?
Refleksi: Ruang Mana yang Lebih Bermakna
Literasi sejati mestinya tak mengenal batas ekonomi. Jika buku hanya bisa diakses di ruang ber-AC dengan kopi seharga puluhan ribu, maka literasi kehilangan akar sosialnya.
Sebaliknya, warung pinggir jalan justru bisa menjadi ruang alternatif literasi rakyat—dengan buku sumbangan komunitas, diskusi santai, atau sekadar obrolan kritis yang lahir dari pengalaman hidup sehari-hari.
Mungkin, pertemuan dua dunia adalah jawabannya: literasi yang tidak kehilangan ruh egaliter, namun tetap terbuka untuk berkembang dalam berbagai bentuk.
Penutup
Pertarungan antara kafe literasi dan warung pinggir jalan sejatinya bukan soal siapa yang lebih unggul, tapi tentang bagaimana kita memahami budaya sebagai ruang bersama.
Jika literasi hanya milik segelintir, maka rakyat hanya akan jadi penonton.
Namun jika literasi meresap sampai ke meja warung sederhana, maka harapan untuk masyarakat yang melek budaya akan tetap hidup.






