Dari Desa ke Kota: Sebuah Mimpi Lama
Bagi banyak anak muda di desa, kota besar tampak seperti panggung mimpi. Kilau lampu, gedung menjulang, serta janji pekerjaan membuat mereka meninggalkan ladang dan sawah. Migrasi dianggap jalan pintas menuju kehidupan lebih baik.
Namun, setelah langkah kaki benar-benar menjejak trotoar kota, banyak yang mendapati kenyataan yang jauh dari indah.
Realita yang Menyambut
Kota memang menawarkan banyak peluang, tapi pintu masuknya sempit. Anak-anak desa yang datang dengan harapan besar sering dihadapkan pada:
- Pekerjaan kasar dengan upah rendah – buruh pabrik, kuli bangunan, atau pekerja informal yang rentan dieksploitasi.
- Keterasingan sosial – terputus dari komunitas asal, mereka kerap merasa sendiri di tengah keramaian kota.
- Biaya hidup tinggi – kontrakan sempit, harga kebutuhan mahal, membuat gaji cepat habis tanpa sisa.
- Stigma dan diskriminasi – dianggap “orang kampung” yang tidak paham modernitas.
Migrasi yang semula dipenuhi optimisme, berubah menjadi pertarungan untuk sekadar bertahan hidup.
Harapan yang Pupus
Banyak anak muda desa yang datang dengan mimpi belajar, bekerja, atau meraih sukses, justru terjebak dalam lingkaran urban poverty.
Mereka menyadari:
- Ijazah sekolah desa sulit bersaing dengan lulusan kota.
- Akses modal terbatas sehingga usaha kecil sulit berkembang.
- Kota bukan ruang ramah, melainkan arena kompetisi brutal.
Akhirnya, sebagian kembali ke desa dengan tangan kosong, sementara yang bertahan harus mengorbankan tenaga, waktu, bahkan harga diri.
Potret Sosial: Desa yang Kehilangan, Kota yang Lupa
Fenomena ini meninggalkan dua luka:
- Desa kehilangan generasi muda – mereka yang mestinya bisa mengolah tanah atau membangun komunitas, justru pergi.
- Kota semakin sesak – urbanisasi tanpa arah menciptakan masalah baru: pengangguran, kemiskinan, kriminalitas, dan permukiman kumuh.
Migrasi anak desa ke kota bukan hanya soal individu yang gagal mewujudkan mimpi, tapi juga potret ketimpangan pembangunan nasional.
Jalan Alternatif: Membangun Harapan di Desa
Harapan tidak seharusnya pupus. Jika pembangunan desa diprioritaskan, anak-anak muda tak perlu menjadikan kota sebagai satu-satunya jawaban.
Solusinya antara lain:
- Akses pendidikan dan keterampilan di desa yang setara dengan kota.
- Pemberdayaan ekonomi lokal melalui koperasi, UMKM, dan teknologi digital.
- Infrastruktur desa yang layak agar tidak tertinggal.
Migrasi bukan harus dihentikan, tapi dijalankan dengan pilihan yang adil dan peluang nyata, bukan sekadar ilusi kota.
Penutup
Migrasi anak desa ke kota besar adalah kisah tentang harapan, perjuangan, dan sering kali, kekecewaan. Kota bukanlah jalan keluar mudah, melainkan ujian keras yang tak semua sanggup melewati.
Harapan yang pupus ini mestinya menjadi peringatan bagi negara: tanpa pembangunan desa yang setara, mimpi anak-anak muda akan terus terjebak dalam lingkaran urbanisasi pahit.






